Selasa, 26 November 2013

MAKNA NYANYIAN DAN TARIAN DALAM FILM INDIA

Adegan tari-tarian dan nyanyi-nyanyian di film India sering diasosiasikan penonton sebagai gambaran yang norak, hiperbol dan ketinggalan jaman. Bagi anak muda generasi MTV, adegan semacam itu mungkin akan mereka bilang ‘malu-maluin’ dan‘nggak penting’. Belum lagi jagoan-jagoan yang tampil bak superhero, tidak bisa dikalahkan dan pasti muncul di saat-saat genting, makin menambah daftar alasan orang untuk alergi pada film-film Bollywood. Ujungnya, segala stereotip itu melenyapkan preferensi banyak orang terhadap film India. Dengan kata lain, mereka akan berkata “film India pasti jelek karena dia adalah film India”. Maka, penuhlah bioskop-bioskop 21 yang memutar film Hollywood. Televisi berlomba mengeruk iklan dengan me-rerun film-film box-office. Rumah-rumah produksi dalam negeri tak henti-hentinya membuat sinetron dan film-film baru, meskipun ceritanya tak beranjak dari urusan wanita cantik, pria kaya dan hantu-hantu. Masyarakat disuguhi tayangan yang tak jelas juntrungannya, sampai-sampai yang membekas di kepala cuma adegan paha mulus, belahan dada, bacok-bacokan dan perselingkuhan. Para remaja mengalami krisis identitas karena yang mereka tonton di televisi dan film-film ternyata tidak mereka temukan di dunia nyata. Anak-anak menjadi dewasa lebih cepat, lagi-lagi karena televisi yang tak becus menjadualkan jam tayang tontonan. Generasi muda kita mengalami doubleconsciousness, suatu keadaan ketika kenyataan sosial dan depiksi media massa tak lagi sejalan (Dubois, 1997). Sungguh ironis, bangsa yang besar ini ternyata tak punya nilai-nilai kepribadian yang patut dibanggakan. Masalah ini memang tidak akan selesai seketika dengan mengganti tontonan ke film India. Tapi lewat uraian berikut saya akan coba buktikan bahwa kita mungkin harus malu jika kita memandang sebelah mata pada film Bollywood. Karena sejatinya ada refleksi diri kita, Masyarakat timur, di dalamnya. Merendahkannya mungkin adalah isyarat bahwa kita sedang mengalami krisis nilai. Atau, barangkali benar kalau kita sudah tak lagi punya kebanggaan? Keluarga: Orang Tua, Anak, Wanita, dan Nilai Religius Besarnya jumlah penduduk di Indonesia tak luput dari incaran distributor film-film Hollywood. Dengan ditunjang monopoli jaringan Bioskop 21 di berbagai kota besar, serta distribusi keping cakram, maka film-film Hollywood membanjiri pasar Indonesia. Bisa dikatakan hampir tidak ada pesaing lain yang mampu mengungguli nilai peredaran film Hollywood di Indonesia. Jika kita mengacu pada pendapat Antonio Gramsci tentang hegemoni, maka kondisi seperti ini patut untuk diwaspadai. Film-film Hollywood telah menjadi aktor dominan dalam proses pembentukan makna. Lebih jauh, ia akan membentuk hegemoni tentang ideologi atau nilai-nilai tertentu (Barker, 2004). Dalam hal ini, ide yang dibawakan tentu saja ide-ide yang bias budaya barat (western). Sedangkan film-film non-Hollywood bisa kita katakan sebagai pembawa ide, nilai dan ideologi yang subordinat. Maka film Bollywood dapat kita masukkan dalam kelompok ini. Bahkan, merujuk pada pendapat Gramsci, film nasional kita pun sebenarnya juga ada dalam posisi subordinat. Film-film Hollywood telah mengajarkan sejumlah interpretasi baru seputar empat hal yang menjadi judul sub-bab ini. Bagi masyarakat barat, keluarga tidak harus terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga bisa terdiri atas sepasang gay, lesbian dan anak angkat (The Guru, Midnight Express,Fried Green Tomatoes); orang tua tunggal (Finding Nemo, Gilmore Girls, ForrestGump); atau pasangan tidak-menikah dengan atau tanpa anak (Bridget Jones’s Diary, Vanilla Sky, Love Actually). Keadaan ini memang inheren dengan sifat masyarakat yang permisif, liberal dan individualis. Pola keluarga semacam itu juga dapat dimaklumi jika kita mengaitkannya dengan budaya free-sex padamasyarakat barat (Kaldis, 1998). Selain itu, hubungan orang tua dan anak jugadigambarkan sebagai pola yang low-context dan low-power. Dalam film-film barat kita akan banyak menemukan adegan perang mulut antara ayah dan anak. Belum lagikebiasaan memanggil nama untuk orang tua yang kemungkinan besar terdengar ’mengganggu’ di telinga kita. Penggambaransemacam ini sudah pasti tak anda temui dalam film-film Bollywood. Dalam film India (Harwood, 1997), keluarga yang ideal selalu terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Lebih detil, mereka tinggal dalam satu rumah. Sang anak patuh dan menghormati perintah orang tua. Ayah menjadi kepala keluarga dan pemegang keputusan, sedangkan ibu menjadi sosok yang hangat tempat sang anak mencari nasehat. Demikianlah kira-kira gambaran sosok keluarga dan orang tua dalam film India. Film-film yang menggambarkan hal itu tak terhitung jumlahnya, misalnyaDilwale Dulhania Le Jayenge (1995), Kuch Kuch Hota Hai (1997), Kabhi KushieKabhi Gaam (2001), Koi Mil Gaya (2002) dan Kal Ho Na Ho (2003). Perbedaan yang sepele memang, namun dampaknya bisa jadi sangat besar. Kasus-kasus kenakalan remaja mungkin diawali dari tidak adanya penghormatan pada orang tua. Generasi muda akan memaknai apa yang biasa mereka tonton itu sebagai gambaran ideal mereka dalam kehidupan nyata (Willis, 1990). Film dan tontonan televisi telah membangkitkan semangat memberontak yang paradoksikal: tidak mau diatur-atur tapi tetap menyandarkan hidup pada sokongan orangtua. Bandingkan dengankehidupan remaja barat, mereka dapat memilih berpisah sepenuhnya dari orangtua asalkan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Sayangnya, banyak yang melupakan keterkaitan ini. Hasilnya, anak-anak tumbuh menjadi remaja yang rebelpada orang tua tetapi tidak siap untuk mandiri. Representasi budaya barat juga dapat anda temukan saat berbicara tentang perempuan dan film Hollywood. Di luar nilai emansipasi dan self-reliance yang ditampilkan, tampaknya kita sudah tidak sensitif lagi pada nilai-nilai bawaan lainnya yang berseberangan dengan budaya kita. Perempuan digambarkan begitu permisifnya pada urusan seks, misalnya dalam film-film James Bond. Selain itu, emansipasi wanita juga kerap digambarkan terlalu berlebihan. Tengoklah serial DesperateHousewives, dalam film ini perempuan-perempuan digambarkan sebagai sosok yang berhak melakukan apa saja untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Adegan perselingkuhan, intrik dan caci maki dapat anda temukan di sini. Uniknya, dalam film-film Hollywood perempuan juga kerap digambarkan menjadi sosok yang lemah dan menjadi korban kekerasan, misalnya dalam film Monster’s Ball (2003), 8 Milimeters (2004) dan serial televisi Orange County/The OC. Terkait dengan hal tersebut, maka hal yang tidak anda dapatkan dari film-film lain selain film India adalah penggambaran yang konsisten terhadap sosok perempuan (Uberoi, 1998). Memang benar kalau wanita selalu digambarkan sebagai subordinat pria, namun ada beberapa nilai ketimuran yang melekat kuat dalam gambaran wanita India. Diantaranya ialah rasa penghormatan terhadap suami, pengabdian sebagai seorang ibu, kerelaan berkorban demi keluarga dan keteguhan memegang nilai-nilai tradisi. Jika anda perhatikan, semodern-modernnya karakter perempuan dalam film Bollywood, pasti ada adegan-adegan saat dia mengenakan kain sari, berdoa menghadap altar, atau memberikan aratik (tanda merah dikening suami). (Krueger, 2004). Saya bukan hendak mengatakan gambaran perempuan India lebih baik dari perempuan barat.Namun, entah kenapa tidak ada lagi kendaraan untuk melestarikan nilai-nilai ketimuran semacam itu. Sinetron, video klip, film, iklan dan tontonan lainnya telah memanjakan perempuan Indonesia dengan slogan-slogan emansipasi yang tidak cover both-sides. Menjadi setara tentu tidak masalah, namun jika sampai kehilangan jatidiri itu yang berbahaya. Film, bagi masyarakat India, sudah menyerupai agama. Semiskin-miskinnya orang, pasti ada anggaran untuk membeli tiket bioskop. Lebih-lebih, jika film itu dibintangi oleh aktor dan aktris besar seperti Shah Rukh Khan, Amitabh Bhachchan, Hrithik Roshan, Kajol dan Rani Mukerjee. Setiap tahunnya tak kurang dari 800 film barudiproduksi di Bollywood (Skoyles, 2005). Angka ini hampir dua kali lipat angka produksi film Hollywood, dan berpuluh-puluh kali lipat produksi film nasional kita. Begitu masifnya produksi, distribusi dan konsumsi film di India, maka film menjadi media massa yang paling berpengaruh di India (”Emerging Market, India,” 2006). Meminjam konsep ideological state aparattuses (ISA’s ) dari Altusser, maka film barangkali menjadi institusi sosialisasi terpenting di negara terbesar di Asia Selatan itu. Jadi jika film Bollywood itu berhasil membawakan budaya India dengan konsisten, dapat kita bayangkan betapa besar rasa nasionalisme dan kecintaan orang India terhadap nilai-nilai dan identitas negerinya. Pernah, film Salaam Naamaste (2005) dicerca habis-habisan di India. Meskipun sukses di Amerika Serikat, Eropa dan Australia, film yang dibintangi Preity Zinta dan Saif Ali Khan ini dianggap cabul oleh sejumlah kritikus karena mengusung tema kumpul-kebo. Setting filmini memang berada di Australia, namun tetap saja ide ceritanya dianggap tidak sesuai dengan budaya dalam negeri mereka (Line, 2005). Idealisme seperti itulah yang tidak dimiliki dari media-media massa kita. Semuanya Cuma berlomba merebut pasar dan pengaruh. Idealisme para pekerja media hanya berorientasi pada perolehan keuntungan sebesar-besarnya, bagaimanapun caranya. Maka tidak heran jika televisi kita cuma dipenuhi adegan cinta-cintaan anak remaja, intrik dan balas dendam, makian-makian kasar, kekerasan rumah tangga, umbar-mengumbar aurat, dan kisah hantu-hantuan yang diberi label ‘sinetron religius’. Mengenai urusan religiusitas, lagi-lagi kita harus malu pada film-film negeri Hindustan itu. Betapa unsur-unsur religi sangat terasa dalam setiap film-film mereka. Hampir di setiap film kita bias menyaksikan adegan berdoa, meletakkan sesaji, mengenakan sari, gambar kuil atau tempat-tempat ibadah, juga patung dewa-dewa. Bahkan di banyak film, perayaanhari-hari besar keagamaan juga turut dijadikan setting film (Sharma, 2003), misalnya hari raya Diwali[1] (Kabhie Kushi Kabhi Gham), Holy[2] (Waqt, 2004), dan Karva Chauth[3] (Dilwale Dulhania Le Jayenge). Nilai-nilai religius juga nampak dalam adegan lain seperti pernikahan, pengucapan salam dan penggunaan simbol-simbol. Nuansa agama Hindu memang kental terasa dalam nilai religius yang ditampilkan dalam film-film Bollywood. Hal ini dapat dimaklumi mengingat mayoritas penduduk India, 80 persen, beragama Hindu .Namun yang perlu diacungi jempol adalah bagaimana unsur-unsur itu ditampilkan dengan sedemikian natural, bahwa memang demikianlah yang terjadi sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari orang India. Mereka berdoa sebelum berangkat bekerja, meletakkan sesaji di pagi hari, meletakkan tanda merah di kening pasangannya dan merayakan hari-hari besar semeriah gambaran film Bollywood. Praktek dan representasi itu terus menerus diproduksi dan direproduksi, sehingga setiap orang akanmenganggapnya sebagai sebuah keteraturan yang memang demikian adanya (taken for granted). Nah, sekarang mari kita lihat penggambaran nilai religius dalam film dan sinetron dalam negeri kita. Kiai dan ulama baru muncul saat berhadapan dengan genderuwo dan kuntilanak. Ayat-ayat suci baru dibacakan tatkala si tokoh terlanjur kesurupan. Film-film Hollywood pun sama saja. Simbol salib baru keluar waktu si drakula mengamuk tak keruan. Gambar gereja dan pendeta juga hanya nampak dalam adegan pernikahan dan pemakaman. Intinya, kemunculan simbol-simbol keagamaan tak lebih dari sekedar bumbu cerita. Kecuali tayangan ceramah dai-dai kondang, tema agama tak lebih dari sekedar komoditas yang laku pada musim tertentu, misalnya pada saat Ramadhan atau menjelang Natal. Karena pada bulan puasa pengiklan berebut memenuhi space menjelang buka dan sahur, stasiun-stasiun televisi ramai-ramai membuat tayangan ber-genre religi agar kebagian kue iklan. Singkatnya, nilai-nilai religius yang ditampilkan itu tak ubahnya sebuah kebohongan saja. Maka saya pun heran ketika orang-orang Indonesia mengejek film-film Bollywood tapi kemudian manggut-manggut saja disuguhi film-film Indonesia bergenre horor dan sinetron-sinetron lokal bertema primitif. Tak ada lagi sensitivitas yang membuat mereka selektif memilih tayangan. Tak sadarkah kita bahwa telah lama kita menertawakan diri sendiri? Kekerasan dan Muatan Seksual, Sebuah Harga Mati. Bagi para sineas dan produser, apalah artinya film tanpa muatan seks, kekerasan dan konflik. Ketiga jurus itulah yang menjadikan film menarik untuk ditonton. Unsur-unsur itu, terutama seks dan action (baca: kekerasan), sering dinanti-nanti, tapi sering juga dimaki-maki. Hampir semua film, baik Hollywood maupun Bollywood, mustahil menghindarkan diri dari muatan-muatan itu. Bagi saya,unsur violence dalam film manapun tak ada bedanya. Ada darah, baku hantam, peluru, ledakan, jeritan kesakitan, kejar-kejaran, dan semacamnya. Baik Hollywood maupun Bollywood hampir pasti tidak memiliki referensi lain soal bagaimana menggambarkan hal tersebut. Yang membedakan keduanya barangkali cuma masalah budget dan teknologi specialeffect. Yang menarik ialah bagaimana keduanya menggambarkan unsur seksual dalam adegan-adegan film. Di India, hukum sensor diberlakukan dengan ketat. Semua film harus disetujui oleh Badan Sertifikasi Sinema, baik di tingkat lokal maupun pusat. Badan ini berpedoman kepada Undang-undang Sinematografi India yang dikeluarkan pada tahun 1952. Undang-undang ini tidak secara tegas melarang adegan ciuman, hanya adegan seksual yang vulgar (obscenity) dan ketelanjangan (nude) yang diatur dengan jelas dalam Undang-undang ini. Tetapi aturan yang paling penting justru datang dari kesepakatan moral tak tertulis diantara para sineas untuk tidak menampilkan adegan kissing, nudity dan sexual explicit material (SEM) (Chopra, 2004). Oleh karena itu, sebenarnya salah jika anda berharap menemukan adegan-adegan mesum dalam film Bollywood. Lantas bagaimana unsur romantisme ditampilkan? Di film Hollywood anda bisa dengan mudah menemukannya dalam adegan-adegan seks dan ketelanjangan (Casino Royale,Original Sin, Captain Corelli’s Mandolin, Unfaithful, dll), atau lewat guyonan-guyonan vulgar ala American Pie, Jackass, Scary Movie atau Eurotrip. Namun tidak demikian yang dilakukan oleh para film-maker India. Satu-satunya yang mungkin mereka lakukan ialah dengan melakukan simbolisasi lewat adegan nyanyian dan tarian. Misalnya, jika sang pemeran sedang jatuh cinta, maka ia akan menyanyi dan berlari-larian di hamparan padang bunga. Sementara itu, bermunculanlah penari-penari yang entah dari mana datangnya. Setting tempat dan pakaian yang dikenakan juga berganti-ganti dalam hitungan kedipan mata. Agak hiperbol memang, namun demikianlah kenyataannya. Kebanyakan adegan yang berkategori ’sensual’ ditampilkan dalam bagian ini, misalnya adegan pelukan, mencium leher, atau berguling-gulingan. Tapi, lagi-lagi cuma itu yang bisa dilakukan oleh para film-maker India. Mereka berusaha sedapat mungkin menghindari adegan bermuatan SEM dengan menyematkan unsur romantisme dalam adegan tarian dan nyanyian. Saya tiba-tiba teringat pada Stuart Hall, mungkin hal ini terkait erat dengan budayahigh-context pada masyarakat di belahan bumi timur. Sangat berbeda dengan masyarakat barat yang cenderung grusa-grusumenggambarkan romantisme dengan adegan seksual, para sutradara India membiarkan imajinasi penonton berkreasi dengan memberikan simbol-simbol dalam musik dan visualisasi. Sebagian besar orang yang saya tanyai dalam riset kecil saya setahun lalu menyatakan bahwabagian menyanyi dan menari itulah yang paling membuat mereka antipati terhadap film India. Menurut mereka, bagian itu lebih baik dipotong saja, norak dan toh tidakjuga mempengaruhi isi film. Tapi menurut analisis saya, justru di situlah letak perbedaan film India dan film Hollywood. Adegan menyanyi dan menari memiliki peran sebagai jembatan memori penonton akan kisah dan konteks sebuah film. Contohnya, apa yang anda ingat dari kisah cinta Rahul, Tina dan Anjali dalam Kuch Kuch Hota Hai?.Kejar-kejaran di pinggir jembatan? Menari bahagia di kamp perkemahan? Atau kesedihan di bawah guyuran hujan? Yang jelas ingatan itu akan jauh lebih sopan dari ingatan anda soal kisah cinta Jack dan Rose dalam film Titanic. Mungkin yang terbayang duluan adalah adegan percintaan mereka dalam mobil di gudang kapal. Sama liarnya jika anda mengingat adegan intercourse Scott dan Mieke di bilik pengakuan dosa Gereja Vatikan dalam Eurotrip (2004). Jadi,jika dalam setahun seorang anak-anak atau remaja Indonesia menonton 15-20 film Hollywood dengan label ’PG-13’ ke atas, sudah berapa banyak adegan seksual dan kekerasan yang terekam dalam pikirannya. Mengerikan!.Penutup: Kesimpulan dan Self-critique Bagaimanapun, ciptaan manusia memang tidak ada yang sempurna. Jika Bill Kovach mengatakan bahwa tidak ada media massa yang benar-benar objektif, maka bolehlah kiranya saya mengatakan bahwa ’tidak ada media massa yang benar-benar aman’. Pembandingan film Hollywood, film Indonesia dan sinetron-sinetron dengan film Bollywood, bukan berarti hendak menunjukkan film Bollywood lebih baik dari yang lain.. Lewat paper ini saya hanya ingin menunjukkan hal-hal yang mungkin tidak kita peroleh dengan menyaksikan tontonan-tontonan populer (popular culture).Setidaknya, setelah membacanya anda akan lebih kritis untuk memilih tontonan apa yang layak untuk diri dan keluarga. Terkait dengan pilihan akan film Bollywood, saya pasti tidak berkutik jika anda menyodorkan film-film India terbaru yang mulai sarat dengan muatan western. Hal itumisalnya terlihat dari pakaian-pakaian seksi yang dikenakan para aktris, adegan-adegan yang agak ’berani’, dan tema-tema cerita yang mulai melawan mainstream. Intinya, argumen-argumen saya sebelumnya tentang suri tauladan dari film Bollywood ternyata juga tidak berterima sepenuhnya. Salah satu penjelasan yangmudah ialah adanya upaya industri Bollywood untuk memantapkan posisi di pasar Eropa dan Amerika Serikat. Setiap tahunnya, total pendapatan dari ekspor film India adalah sekitar $US 20 juta. Sebanyak 40% diperoleh dari pasar Inggris Raya, 30% dari Amerika Serikat, dan sisanya tersebar di seluruh dunia (Chopra, 2004). Otomatis, para pembuat film akan berpikir untuk terus mempertahankan potensi pasarnya di Eropa dan Amerika. Untuk itu, tema, setting, konteks dan penggambaran film India yang berorientasi ekspor harus disetel untuk memenuhi keinginan pasar yang dituju. Pada akhirnya idealisme dan kepentingan ekonomi akhirnya akan selau beradu. Maka tidak heran jika belakangan ini film-film Bollywood sudah mulai menabrak-nabrak tepian lintasannya. Karenanya, tidak semua film Bollywood layak untuk ditonton. Lebih aman jika anda memilih film-film keluarga seperti Koi Mil Gaya, Khrish, Biwi No.1, Bhaadshah, Swades, atau film-film epik seperti Ashoka, Lakhsya,dan Zameen. Pelajaran-pelajaran yang saya jelaskan sebelumnya dapat anda temukan di sana. Bagi anda yang hendak menonton kisah-kisah percintaan, saya sarankan untuk tidak mengajak anak-anak di bawah umur. Selain dialognya cukup berat, akan susah menjelaskan adegan-adegan yang belum mereka mengerti. Kalau mau aman, mungkin anda lewati saja bagian lagunya. Terakhir, paper ini menjadi semacam pengingat bahwa kadang kita perlu melakukan refleksi diri. Masihkah kita bangga dengan julukan bangsa timur tetapi isi. kepalanya nilai-nilai western melulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar