Selasa, 26 November 2013

TAMANNA

TAMANNA @ Kehidupan awal Tamannaah lahir pada tanggal 21 Desember 1989 di Mumbai , Maharashtra , India , untuk Santosh dan Rajani Bhatia dan dia memiliki kakak, Anand. Ayahnya adalah seorang konsultan keuangan. Dia adalah Sindhi keturunan. Dia sekolah di Maneckji Cooper Pendidikan Sekolah Percayalah, Juhu , Mumbai sementara ia saat ini sedang mengejar gelar BA di National College, Mumbai melalui pendidikan jarak jauh . Dia kemudian mengganti namanya untuk alasan numerologi , bervariasi sedikit untuk Tamannaah. @ Karir Tamannaah memulai karir aktingnya pada tahun 2005 sebagai pahlawan dalam Chand Sa Roshan Chehra, satu-satunya Hindi film untuk saat ini. Pada tahun yang sama, ia memulai debutnya di Telugu bioskop di Sri , memainkan peran perempuan terkemuka berlawanan Manoj Kumar . Pada 2006, dia memulai debutnya di industri film Tamil di Kedi , diproduksi oleh PM Rathnam , bersama dengan Ravi Krishna dan lainnya pendatang baru, Ileana D'Cruz . Pada tahun 2007, ia memiliki tiga rilis. Setelah perannya dalam berhasil Vyapari , ia membintangi Kammula Sekhar -film yang diarahkan Telugu Happy Days yang mendapat review positif dan menjadi yang pertama sukses kotaknya kantor utama. Rilis berikutnya adalah drama film Tamil Kalloori , disutradarai oleh Balaji Sakthivel , yang memenangkan penghargaan dan pujian kritis di Tamil juga. Tamaanaah dan Suriya seperti yang terlihat di Ayan (2009). Pada tahun 2008, Tamannaah lagi memiliki tiga rilis, muncul hanya dalam peran cameo dalam dua dari mereka. Pada tahun 2009, ia menerima kotak keberhasilan kantor dengan Padikathavan, dengan Dhanush. Berikutnya film Tamil Ayan menjadi blockbuster dan membuatnya menjadi bintang utama dalam industri film Tamil. Film berikutnya adalah Ananda Tandavam , yang tenggelam tanpa jejak. Tapi penampilannya dipuji oleh para kritikus. Berturut pembebasannya Kandein Kadhalai , yang merupakan remake dari film blockbuster Hindi 2007 Jab We Met , dianggap sukses moderat. Dia awalnya peran yang dimainkan oleh Kareena Kapoor dan dipuji oleh kritikus untuk penampilannya. Pertama 2010 rilis Lingusamy yang romantis-aksi film Paiyaa , sukses besar. Ini mendapatkan gelar nama besar dalam industri film Tamil. Rilis berikutnya adalah Sura, dengan Vijay. Film ini menjadi hit rata-rata dan kinerja nya menyorot oleh kritikus. Rilis berikutnya adalah Thillalangadi dengan Jayam Ravi , yang menjadi grosir rata-rata dan penampilannya dipuji. Tamannaah muncul di enam film pada tahun 2011, lima yang menampilkan dirinya dalam peran dibintangi. Rilis pertamanya adalah tindakan film Tamil, Siruthai bersama Karthi , dengan film menjadi sukses secara komersial, meskipun karakternya buruk diterima oleh para kritikus, dengan reviewer mengutip bahwa dia menawarkan "sedikit lebih dari lengan-permen". [8] nya Telugu rilis pertama setelah dua tahun adalah komedi romantis Cinta 100% (2011) dengan Naga Chaitanya , yang diambil review positif dari kedua kritikus dan pemirsa. Dia selanjutnya dilihat dalam sejarah Badhrinaadh (2011) berlawanan Allu Arjun yang menjadi kegagalan kritis dan komersial, yang diikuti oleh sebuah film aksi-masala Tamil lagi, Hari 's Venghai (2011). Film ini tidak diterima dengan baik, namun kritikus memuji penampilannya. Rrilis final-nya tahun 2011 adalah Oosaravelli , dibintangi Jr NTR. Allso yang Menjadi Grosser rata-rata film mendatang nya memerankan peran utama di seberang Ram Charan Teja di Rachaa , Ram di Endhukante Premanta , dan Prabhas di Rebel . @ Pekerjaan lain Dia juga memiliki pengalaman sebagai model iklan muncul dalam berbagai TV. Dia adalah mendukung merek populer seperti Mobiles Celcom dan Sabun Chandrika Ayurveda. Sebelum masuk ke dalam film ia juga bertindak dalam Tamil iklan TV seperti Shakthi Masala. @ Penghargaan Penghargaan Filmfare Selatan • Nominasi, Penghargaan Filmfare untuk Aktris Terbaik - Tamil - Kalloori (2007) • Nominasi, Penghargaan Filmfare untuk Aktris Terbaik - Telugu - Konchem Ishtam Konchem Kashtam (2009) • Nominasi, Penghargaan Filmfare untuk Aktris Terbaik - Tamil - Kanden Kadhalai (2009) • Nominasi, Penghargaan Filmfare untuk Aktris Terbaik - Tamil - Paiyaa (2010) Vijay Penghargaan • Nominasi, Vijay Award untuk Aktris Terbaik - Kanden Kadhalai (2009) • Nominasi, Vijay Award untuk Srikandi Favorit - Ayan (2009) • Nominasi, Vijay Award untuk Srikandi Favorit - Paiyaa (2010) @ Lain penghargaan • Lingkup Selatan Award untuk Aktris Terbaik - Kanden Kadhalai (2009) Year Film Role Language Notes 2005 Chand Sa Roshan Chehra Jiya Oberoi Hindi 2005 Sri Sandhya Telugu 2006 Kedi Priyanka Tamil dubbed in telugu as Jadoo 2007 Vyapari Savithri Tamil 2007 Kalloori Shobana Tamil Nominated— Filmfare Award for Best Actress – Tamil dubbed in telugu kalasala 2007 Happy Days Madhu Telugu 2008 Netru Indru Naalai Swapna Tamil Guest appearance 2008 Ready Swapna Telugu Guest appearance 2008 Kalidasu Archana Telugu 2009 Konchem Ishtam Konchem Kashtam Geeta Subramanyam Telugu Nominated—Filmfare Award for Best Actress - Telugu 2009 Ayan Yamuna Tamil Nominated—Vijay Award for Favourite Heroine dubbed in telugu as Veedokkade 2009 Kanden Kadhalai Anjali Tamil Nominated—Filmfare Award for Best Actress – Tamil Nominated, Vijay Award for Best Actress 2009 Ananda Thaandavam Madhumitha Tamil 2009 Padikathavan Gayathri Reddy Tamil 2010 Paiyaa Charulatha Tamil Nominated—Filmfare Award for Best Actress – Tamil dubbed in telugu as Awara 2010 Thillalangadi Nisha Tamil 2010 Sura Poornima Tamil 2011 Venghai Radhika Tamil 2011 100% Love Mahalakshmi Telugu 2011 Siruthai Swetha Tamil 2011 Badhrinaadh Alakananda Telugu 2011 Ko Herself Tamil Special appearance 2011 Oosaravelli Niharika Telugu 2012 Rebel Telugu Filming 2012 Rachaa Telugu Filming 2012 Endhukante Premanta Telugu Filming

MAKNA NYANYIAN DAN TARIAN DALAM FILM INDIA

Adegan tari-tarian dan nyanyi-nyanyian di film India sering diasosiasikan penonton sebagai gambaran yang norak, hiperbol dan ketinggalan jaman. Bagi anak muda generasi MTV, adegan semacam itu mungkin akan mereka bilang ‘malu-maluin’ dan‘nggak penting’. Belum lagi jagoan-jagoan yang tampil bak superhero, tidak bisa dikalahkan dan pasti muncul di saat-saat genting, makin menambah daftar alasan orang untuk alergi pada film-film Bollywood. Ujungnya, segala stereotip itu melenyapkan preferensi banyak orang terhadap film India. Dengan kata lain, mereka akan berkata “film India pasti jelek karena dia adalah film India”. Maka, penuhlah bioskop-bioskop 21 yang memutar film Hollywood. Televisi berlomba mengeruk iklan dengan me-rerun film-film box-office. Rumah-rumah produksi dalam negeri tak henti-hentinya membuat sinetron dan film-film baru, meskipun ceritanya tak beranjak dari urusan wanita cantik, pria kaya dan hantu-hantu. Masyarakat disuguhi tayangan yang tak jelas juntrungannya, sampai-sampai yang membekas di kepala cuma adegan paha mulus, belahan dada, bacok-bacokan dan perselingkuhan. Para remaja mengalami krisis identitas karena yang mereka tonton di televisi dan film-film ternyata tidak mereka temukan di dunia nyata. Anak-anak menjadi dewasa lebih cepat, lagi-lagi karena televisi yang tak becus menjadualkan jam tayang tontonan. Generasi muda kita mengalami doubleconsciousness, suatu keadaan ketika kenyataan sosial dan depiksi media massa tak lagi sejalan (Dubois, 1997). Sungguh ironis, bangsa yang besar ini ternyata tak punya nilai-nilai kepribadian yang patut dibanggakan. Masalah ini memang tidak akan selesai seketika dengan mengganti tontonan ke film India. Tapi lewat uraian berikut saya akan coba buktikan bahwa kita mungkin harus malu jika kita memandang sebelah mata pada film Bollywood. Karena sejatinya ada refleksi diri kita, Masyarakat timur, di dalamnya. Merendahkannya mungkin adalah isyarat bahwa kita sedang mengalami krisis nilai. Atau, barangkali benar kalau kita sudah tak lagi punya kebanggaan? Keluarga: Orang Tua, Anak, Wanita, dan Nilai Religius Besarnya jumlah penduduk di Indonesia tak luput dari incaran distributor film-film Hollywood. Dengan ditunjang monopoli jaringan Bioskop 21 di berbagai kota besar, serta distribusi keping cakram, maka film-film Hollywood membanjiri pasar Indonesia. Bisa dikatakan hampir tidak ada pesaing lain yang mampu mengungguli nilai peredaran film Hollywood di Indonesia. Jika kita mengacu pada pendapat Antonio Gramsci tentang hegemoni, maka kondisi seperti ini patut untuk diwaspadai. Film-film Hollywood telah menjadi aktor dominan dalam proses pembentukan makna. Lebih jauh, ia akan membentuk hegemoni tentang ideologi atau nilai-nilai tertentu (Barker, 2004). Dalam hal ini, ide yang dibawakan tentu saja ide-ide yang bias budaya barat (western). Sedangkan film-film non-Hollywood bisa kita katakan sebagai pembawa ide, nilai dan ideologi yang subordinat. Maka film Bollywood dapat kita masukkan dalam kelompok ini. Bahkan, merujuk pada pendapat Gramsci, film nasional kita pun sebenarnya juga ada dalam posisi subordinat. Film-film Hollywood telah mengajarkan sejumlah interpretasi baru seputar empat hal yang menjadi judul sub-bab ini. Bagi masyarakat barat, keluarga tidak harus terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga bisa terdiri atas sepasang gay, lesbian dan anak angkat (The Guru, Midnight Express,Fried Green Tomatoes); orang tua tunggal (Finding Nemo, Gilmore Girls, ForrestGump); atau pasangan tidak-menikah dengan atau tanpa anak (Bridget Jones’s Diary, Vanilla Sky, Love Actually). Keadaan ini memang inheren dengan sifat masyarakat yang permisif, liberal dan individualis. Pola keluarga semacam itu juga dapat dimaklumi jika kita mengaitkannya dengan budaya free-sex padamasyarakat barat (Kaldis, 1998). Selain itu, hubungan orang tua dan anak jugadigambarkan sebagai pola yang low-context dan low-power. Dalam film-film barat kita akan banyak menemukan adegan perang mulut antara ayah dan anak. Belum lagikebiasaan memanggil nama untuk orang tua yang kemungkinan besar terdengar ’mengganggu’ di telinga kita. Penggambaransemacam ini sudah pasti tak anda temui dalam film-film Bollywood. Dalam film India (Harwood, 1997), keluarga yang ideal selalu terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Lebih detil, mereka tinggal dalam satu rumah. Sang anak patuh dan menghormati perintah orang tua. Ayah menjadi kepala keluarga dan pemegang keputusan, sedangkan ibu menjadi sosok yang hangat tempat sang anak mencari nasehat. Demikianlah kira-kira gambaran sosok keluarga dan orang tua dalam film India. Film-film yang menggambarkan hal itu tak terhitung jumlahnya, misalnyaDilwale Dulhania Le Jayenge (1995), Kuch Kuch Hota Hai (1997), Kabhi KushieKabhi Gaam (2001), Koi Mil Gaya (2002) dan Kal Ho Na Ho (2003). Perbedaan yang sepele memang, namun dampaknya bisa jadi sangat besar. Kasus-kasus kenakalan remaja mungkin diawali dari tidak adanya penghormatan pada orang tua. Generasi muda akan memaknai apa yang biasa mereka tonton itu sebagai gambaran ideal mereka dalam kehidupan nyata (Willis, 1990). Film dan tontonan televisi telah membangkitkan semangat memberontak yang paradoksikal: tidak mau diatur-atur tapi tetap menyandarkan hidup pada sokongan orangtua. Bandingkan dengankehidupan remaja barat, mereka dapat memilih berpisah sepenuhnya dari orangtua asalkan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Sayangnya, banyak yang melupakan keterkaitan ini. Hasilnya, anak-anak tumbuh menjadi remaja yang rebelpada orang tua tetapi tidak siap untuk mandiri. Representasi budaya barat juga dapat anda temukan saat berbicara tentang perempuan dan film Hollywood. Di luar nilai emansipasi dan self-reliance yang ditampilkan, tampaknya kita sudah tidak sensitif lagi pada nilai-nilai bawaan lainnya yang berseberangan dengan budaya kita. Perempuan digambarkan begitu permisifnya pada urusan seks, misalnya dalam film-film James Bond. Selain itu, emansipasi wanita juga kerap digambarkan terlalu berlebihan. Tengoklah serial DesperateHousewives, dalam film ini perempuan-perempuan digambarkan sebagai sosok yang berhak melakukan apa saja untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Adegan perselingkuhan, intrik dan caci maki dapat anda temukan di sini. Uniknya, dalam film-film Hollywood perempuan juga kerap digambarkan menjadi sosok yang lemah dan menjadi korban kekerasan, misalnya dalam film Monster’s Ball (2003), 8 Milimeters (2004) dan serial televisi Orange County/The OC. Terkait dengan hal tersebut, maka hal yang tidak anda dapatkan dari film-film lain selain film India adalah penggambaran yang konsisten terhadap sosok perempuan (Uberoi, 1998). Memang benar kalau wanita selalu digambarkan sebagai subordinat pria, namun ada beberapa nilai ketimuran yang melekat kuat dalam gambaran wanita India. Diantaranya ialah rasa penghormatan terhadap suami, pengabdian sebagai seorang ibu, kerelaan berkorban demi keluarga dan keteguhan memegang nilai-nilai tradisi. Jika anda perhatikan, semodern-modernnya karakter perempuan dalam film Bollywood, pasti ada adegan-adegan saat dia mengenakan kain sari, berdoa menghadap altar, atau memberikan aratik (tanda merah dikening suami). (Krueger, 2004). Saya bukan hendak mengatakan gambaran perempuan India lebih baik dari perempuan barat.Namun, entah kenapa tidak ada lagi kendaraan untuk melestarikan nilai-nilai ketimuran semacam itu. Sinetron, video klip, film, iklan dan tontonan lainnya telah memanjakan perempuan Indonesia dengan slogan-slogan emansipasi yang tidak cover both-sides. Menjadi setara tentu tidak masalah, namun jika sampai kehilangan jatidiri itu yang berbahaya. Film, bagi masyarakat India, sudah menyerupai agama. Semiskin-miskinnya orang, pasti ada anggaran untuk membeli tiket bioskop. Lebih-lebih, jika film itu dibintangi oleh aktor dan aktris besar seperti Shah Rukh Khan, Amitabh Bhachchan, Hrithik Roshan, Kajol dan Rani Mukerjee. Setiap tahunnya tak kurang dari 800 film barudiproduksi di Bollywood (Skoyles, 2005). Angka ini hampir dua kali lipat angka produksi film Hollywood, dan berpuluh-puluh kali lipat produksi film nasional kita. Begitu masifnya produksi, distribusi dan konsumsi film di India, maka film menjadi media massa yang paling berpengaruh di India (”Emerging Market, India,” 2006). Meminjam konsep ideological state aparattuses (ISA’s ) dari Altusser, maka film barangkali menjadi institusi sosialisasi terpenting di negara terbesar di Asia Selatan itu. Jadi jika film Bollywood itu berhasil membawakan budaya India dengan konsisten, dapat kita bayangkan betapa besar rasa nasionalisme dan kecintaan orang India terhadap nilai-nilai dan identitas negerinya. Pernah, film Salaam Naamaste (2005) dicerca habis-habisan di India. Meskipun sukses di Amerika Serikat, Eropa dan Australia, film yang dibintangi Preity Zinta dan Saif Ali Khan ini dianggap cabul oleh sejumlah kritikus karena mengusung tema kumpul-kebo. Setting filmini memang berada di Australia, namun tetap saja ide ceritanya dianggap tidak sesuai dengan budaya dalam negeri mereka (Line, 2005). Idealisme seperti itulah yang tidak dimiliki dari media-media massa kita. Semuanya Cuma berlomba merebut pasar dan pengaruh. Idealisme para pekerja media hanya berorientasi pada perolehan keuntungan sebesar-besarnya, bagaimanapun caranya. Maka tidak heran jika televisi kita cuma dipenuhi adegan cinta-cintaan anak remaja, intrik dan balas dendam, makian-makian kasar, kekerasan rumah tangga, umbar-mengumbar aurat, dan kisah hantu-hantuan yang diberi label ‘sinetron religius’. Mengenai urusan religiusitas, lagi-lagi kita harus malu pada film-film negeri Hindustan itu. Betapa unsur-unsur religi sangat terasa dalam setiap film-film mereka. Hampir di setiap film kita bias menyaksikan adegan berdoa, meletakkan sesaji, mengenakan sari, gambar kuil atau tempat-tempat ibadah, juga patung dewa-dewa. Bahkan di banyak film, perayaanhari-hari besar keagamaan juga turut dijadikan setting film (Sharma, 2003), misalnya hari raya Diwali[1] (Kabhie Kushi Kabhi Gham), Holy[2] (Waqt, 2004), dan Karva Chauth[3] (Dilwale Dulhania Le Jayenge). Nilai-nilai religius juga nampak dalam adegan lain seperti pernikahan, pengucapan salam dan penggunaan simbol-simbol. Nuansa agama Hindu memang kental terasa dalam nilai religius yang ditampilkan dalam film-film Bollywood. Hal ini dapat dimaklumi mengingat mayoritas penduduk India, 80 persen, beragama Hindu .Namun yang perlu diacungi jempol adalah bagaimana unsur-unsur itu ditampilkan dengan sedemikian natural, bahwa memang demikianlah yang terjadi sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari orang India. Mereka berdoa sebelum berangkat bekerja, meletakkan sesaji di pagi hari, meletakkan tanda merah di kening pasangannya dan merayakan hari-hari besar semeriah gambaran film Bollywood. Praktek dan representasi itu terus menerus diproduksi dan direproduksi, sehingga setiap orang akanmenganggapnya sebagai sebuah keteraturan yang memang demikian adanya (taken for granted). Nah, sekarang mari kita lihat penggambaran nilai religius dalam film dan sinetron dalam negeri kita. Kiai dan ulama baru muncul saat berhadapan dengan genderuwo dan kuntilanak. Ayat-ayat suci baru dibacakan tatkala si tokoh terlanjur kesurupan. Film-film Hollywood pun sama saja. Simbol salib baru keluar waktu si drakula mengamuk tak keruan. Gambar gereja dan pendeta juga hanya nampak dalam adegan pernikahan dan pemakaman. Intinya, kemunculan simbol-simbol keagamaan tak lebih dari sekedar bumbu cerita. Kecuali tayangan ceramah dai-dai kondang, tema agama tak lebih dari sekedar komoditas yang laku pada musim tertentu, misalnya pada saat Ramadhan atau menjelang Natal. Karena pada bulan puasa pengiklan berebut memenuhi space menjelang buka dan sahur, stasiun-stasiun televisi ramai-ramai membuat tayangan ber-genre religi agar kebagian kue iklan. Singkatnya, nilai-nilai religius yang ditampilkan itu tak ubahnya sebuah kebohongan saja. Maka saya pun heran ketika orang-orang Indonesia mengejek film-film Bollywood tapi kemudian manggut-manggut saja disuguhi film-film Indonesia bergenre horor dan sinetron-sinetron lokal bertema primitif. Tak ada lagi sensitivitas yang membuat mereka selektif memilih tayangan. Tak sadarkah kita bahwa telah lama kita menertawakan diri sendiri? Kekerasan dan Muatan Seksual, Sebuah Harga Mati. Bagi para sineas dan produser, apalah artinya film tanpa muatan seks, kekerasan dan konflik. Ketiga jurus itulah yang menjadikan film menarik untuk ditonton. Unsur-unsur itu, terutama seks dan action (baca: kekerasan), sering dinanti-nanti, tapi sering juga dimaki-maki. Hampir semua film, baik Hollywood maupun Bollywood, mustahil menghindarkan diri dari muatan-muatan itu. Bagi saya,unsur violence dalam film manapun tak ada bedanya. Ada darah, baku hantam, peluru, ledakan, jeritan kesakitan, kejar-kejaran, dan semacamnya. Baik Hollywood maupun Bollywood hampir pasti tidak memiliki referensi lain soal bagaimana menggambarkan hal tersebut. Yang membedakan keduanya barangkali cuma masalah budget dan teknologi specialeffect. Yang menarik ialah bagaimana keduanya menggambarkan unsur seksual dalam adegan-adegan film. Di India, hukum sensor diberlakukan dengan ketat. Semua film harus disetujui oleh Badan Sertifikasi Sinema, baik di tingkat lokal maupun pusat. Badan ini berpedoman kepada Undang-undang Sinematografi India yang dikeluarkan pada tahun 1952. Undang-undang ini tidak secara tegas melarang adegan ciuman, hanya adegan seksual yang vulgar (obscenity) dan ketelanjangan (nude) yang diatur dengan jelas dalam Undang-undang ini. Tetapi aturan yang paling penting justru datang dari kesepakatan moral tak tertulis diantara para sineas untuk tidak menampilkan adegan kissing, nudity dan sexual explicit material (SEM) (Chopra, 2004). Oleh karena itu, sebenarnya salah jika anda berharap menemukan adegan-adegan mesum dalam film Bollywood. Lantas bagaimana unsur romantisme ditampilkan? Di film Hollywood anda bisa dengan mudah menemukannya dalam adegan-adegan seks dan ketelanjangan (Casino Royale,Original Sin, Captain Corelli’s Mandolin, Unfaithful, dll), atau lewat guyonan-guyonan vulgar ala American Pie, Jackass, Scary Movie atau Eurotrip. Namun tidak demikian yang dilakukan oleh para film-maker India. Satu-satunya yang mungkin mereka lakukan ialah dengan melakukan simbolisasi lewat adegan nyanyian dan tarian. Misalnya, jika sang pemeran sedang jatuh cinta, maka ia akan menyanyi dan berlari-larian di hamparan padang bunga. Sementara itu, bermunculanlah penari-penari yang entah dari mana datangnya. Setting tempat dan pakaian yang dikenakan juga berganti-ganti dalam hitungan kedipan mata. Agak hiperbol memang, namun demikianlah kenyataannya. Kebanyakan adegan yang berkategori ’sensual’ ditampilkan dalam bagian ini, misalnya adegan pelukan, mencium leher, atau berguling-gulingan. Tapi, lagi-lagi cuma itu yang bisa dilakukan oleh para film-maker India. Mereka berusaha sedapat mungkin menghindari adegan bermuatan SEM dengan menyematkan unsur romantisme dalam adegan tarian dan nyanyian. Saya tiba-tiba teringat pada Stuart Hall, mungkin hal ini terkait erat dengan budayahigh-context pada masyarakat di belahan bumi timur. Sangat berbeda dengan masyarakat barat yang cenderung grusa-grusumenggambarkan romantisme dengan adegan seksual, para sutradara India membiarkan imajinasi penonton berkreasi dengan memberikan simbol-simbol dalam musik dan visualisasi. Sebagian besar orang yang saya tanyai dalam riset kecil saya setahun lalu menyatakan bahwabagian menyanyi dan menari itulah yang paling membuat mereka antipati terhadap film India. Menurut mereka, bagian itu lebih baik dipotong saja, norak dan toh tidakjuga mempengaruhi isi film. Tapi menurut analisis saya, justru di situlah letak perbedaan film India dan film Hollywood. Adegan menyanyi dan menari memiliki peran sebagai jembatan memori penonton akan kisah dan konteks sebuah film. Contohnya, apa yang anda ingat dari kisah cinta Rahul, Tina dan Anjali dalam Kuch Kuch Hota Hai?.Kejar-kejaran di pinggir jembatan? Menari bahagia di kamp perkemahan? Atau kesedihan di bawah guyuran hujan? Yang jelas ingatan itu akan jauh lebih sopan dari ingatan anda soal kisah cinta Jack dan Rose dalam film Titanic. Mungkin yang terbayang duluan adalah adegan percintaan mereka dalam mobil di gudang kapal. Sama liarnya jika anda mengingat adegan intercourse Scott dan Mieke di bilik pengakuan dosa Gereja Vatikan dalam Eurotrip (2004). Jadi,jika dalam setahun seorang anak-anak atau remaja Indonesia menonton 15-20 film Hollywood dengan label ’PG-13’ ke atas, sudah berapa banyak adegan seksual dan kekerasan yang terekam dalam pikirannya. Mengerikan!.Penutup: Kesimpulan dan Self-critique Bagaimanapun, ciptaan manusia memang tidak ada yang sempurna. Jika Bill Kovach mengatakan bahwa tidak ada media massa yang benar-benar objektif, maka bolehlah kiranya saya mengatakan bahwa ’tidak ada media massa yang benar-benar aman’. Pembandingan film Hollywood, film Indonesia dan sinetron-sinetron dengan film Bollywood, bukan berarti hendak menunjukkan film Bollywood lebih baik dari yang lain.. Lewat paper ini saya hanya ingin menunjukkan hal-hal yang mungkin tidak kita peroleh dengan menyaksikan tontonan-tontonan populer (popular culture).Setidaknya, setelah membacanya anda akan lebih kritis untuk memilih tontonan apa yang layak untuk diri dan keluarga. Terkait dengan pilihan akan film Bollywood, saya pasti tidak berkutik jika anda menyodorkan film-film India terbaru yang mulai sarat dengan muatan western. Hal itumisalnya terlihat dari pakaian-pakaian seksi yang dikenakan para aktris, adegan-adegan yang agak ’berani’, dan tema-tema cerita yang mulai melawan mainstream. Intinya, argumen-argumen saya sebelumnya tentang suri tauladan dari film Bollywood ternyata juga tidak berterima sepenuhnya. Salah satu penjelasan yangmudah ialah adanya upaya industri Bollywood untuk memantapkan posisi di pasar Eropa dan Amerika Serikat. Setiap tahunnya, total pendapatan dari ekspor film India adalah sekitar $US 20 juta. Sebanyak 40% diperoleh dari pasar Inggris Raya, 30% dari Amerika Serikat, dan sisanya tersebar di seluruh dunia (Chopra, 2004). Otomatis, para pembuat film akan berpikir untuk terus mempertahankan potensi pasarnya di Eropa dan Amerika. Untuk itu, tema, setting, konteks dan penggambaran film India yang berorientasi ekspor harus disetel untuk memenuhi keinginan pasar yang dituju. Pada akhirnya idealisme dan kepentingan ekonomi akhirnya akan selau beradu. Maka tidak heran jika belakangan ini film-film Bollywood sudah mulai menabrak-nabrak tepian lintasannya. Karenanya, tidak semua film Bollywood layak untuk ditonton. Lebih aman jika anda memilih film-film keluarga seperti Koi Mil Gaya, Khrish, Biwi No.1, Bhaadshah, Swades, atau film-film epik seperti Ashoka, Lakhsya,dan Zameen. Pelajaran-pelajaran yang saya jelaskan sebelumnya dapat anda temukan di sana. Bagi anda yang hendak menonton kisah-kisah percintaan, saya sarankan untuk tidak mengajak anak-anak di bawah umur. Selain dialognya cukup berat, akan susah menjelaskan adegan-adegan yang belum mereka mengerti. Kalau mau aman, mungkin anda lewati saja bagian lagunya. Terakhir, paper ini menjadi semacam pengingat bahwa kadang kita perlu melakukan refleksi diri. Masihkah kita bangga dengan julukan bangsa timur tetapi isi. kepalanya nilai-nilai western melulu.

India Pakaian

Cara Pakai Sari sebuah Para perempuan India telah mengenakan sari atau saree selama berabad-abad sekarang dan tampak seolah bermartabat seperti yang terlihat menggoda. Hal ini karena sebagian dari mereka memakainya hampir setiap hari dan telah, dengan demikian, menguasai seni mengenakan sari. Hal ini penting karena hanya sebagai saree baik dipakai bisa membuat Anda terlihat sangat elegan, kikuk dipakai salah dapat merusak penampilan keseluruhan. Jadi membaca informasi yang diberikan bawah ini untuk mempelajari cara memakai sari. Ada hal penting yang perlu Anda ingat di sini. Sebagai contoh, ada banyak jenis sari yang tersedia di pasar. Jadi pilih salah satu dengan mengingat kesempatan yang Anda butuhkan untuk. Untuk tujuan resmi, selalu pin up keren saree seperti itu lebih mudah dikelola dengan cara ini dan juga terlihat pintar. Ini adalah gaya di mana semua airhostesses India menggantungkan sari mereka. Untuk pesta dan acara-acara santai, hanya pin ujung sari untuk blus dan tahan sisanya di lekuk lengan. Juga memastikan bahwa Anda memiliki blus yang cocok dan memakai rok dengan sari telah Anda pilih. Blus ini harus dijahit baik dan cocok dekat, sedangkan rok tidak boleh sangat berkobar. Fitur terbaik dari saree adalah bahwa jika dibungkus dengan baik, maka akan terlihat baik pada perempuan dari segala bentuk, tinggi dan ukuran. Di seluruh India, Anda akan menemukan wanita mengenakan sari dalam gaya yang berbeda. Baca tips di bawah ini untuk belajar bagaimana menggantungkan / mengikat sari baik. Langkah Pertama Panjang rok untuk dikenakan di bawah sari harus dari pinggang ke bawah sampai mata kaki Anda. Harus memiliki kolor sehingga dapat diikat di sekitar pinggang. Blus bahwa Anda akan dikenakan dengan saree harus dekat pas dan panjangnya harus berakhir tepat di bawah payudara. Hal ini dapat dengan atau tanpa lengan. Ada berbagai jenis leher blus Anda dapat memilih dari sebelum mendapatkan itu dijahit. Langkah Kedua Setelah mengenakan rok dan blus, mengambil satu ujung sari dan rapi diselipkan ke dalam rok di sekitar pinggang dari kanan ke kiri. Pastikan bahwa ujung bawah saree yang menyentuh lantai sedikit. Melanjutkan dari tempat di mana menyelipkan sari baru saja berakhir dan sekarang mulai membuat lipatan di sari dari sana. Sekitar lima sampai enam lipatan di sari, masing-masing dengan lebar lima inci sudah cukup. Langkah Ketiga Pastikan bahwa Anda telah membuat lipatan yang rapi dan dengan panjang yang sama. Tahan mereka semua bersama sehingga mereka jatuh lurus dan bahkan. Kemudian menyelipkan lipatan ke dalam rok sedikit kiri ke pusar. Juga pastikan bahwa lipatannya yang berbelok ke arah kiri. Pleating sari adalah aspek yang paling sulit bagi mereka belajar bagaimana menggantungkan sari. Tapi begitu Anda menguasai metode sari mengenakan, Anda tidak akan membutuhkan lebih dari beberapa menit untuk membuat lipatannya. Langkah Empat Bagian dari sari kiri setelah pleating disebut Pallav tersebut. Sekarang mengumpulkan Pallav dan meletakkannya di atas bahu kiri. Batas atas dari sari harus miring di seluruh payudara dari bawah lengan kanan ke atas bahu kiri. Pallav harus sekitar 90 cm panjangnya dan harus menyentuh jari-tips karena jatuh merata di belakang Anda. Anda dapat mencegahnya dari tergelincir off dengan memperbaikinya di bahu untuk blus dengan peniti kecil.

Sejarah Teater di India

Teater telah menjadi bagian tak terpisahkan dari semua peradaban; Teater Veda adalah salah satu bentuk awal dari teater menurut sumber. Asal usul teater di India kuno atau teater rakyat dan bukan drama dapat ditelusuri ke ritualisme agama dari bangsa Arya Weda. Ini teater rakyat dari masa lalu berkabut dicampur dengan tarian, makanan, ritualisme, ditambah penggambaran peristiwa dari kehidupan sehari-hari. Itu adalah elemen terakhir yang membuatnya asal teater klasik kali kemudian. Banyak sejarawan, terutama DD Kosambi, Debiprasad Chattopadhyaya, Adya Rangacharaya, dll telah disebut prevalensi ritualisme antara Indo-Arya suku di mana beberapa anggota suku bertindak seolah-olah mereka binatang liar dan beberapa orang lain adalah pemburu. Mereka yang bertindak sebagai mamalia seperti kambing, kerbau, rusa, kera, dll dikejar-kejar oleh mereka memainkan peran sebagai pemburu. Dalam cara yang sederhana dan kasar itu teater berasal di India sekitar 3500 tahun yang lalu di Indo-Arya negara dari Rig Veda kali. Ada juga harus ada sebuah tradisi teater di kota-kota Harappa (peradaban). Natya Shastra Sejarah India tentang teater tidak dapat dijelaskan tanpa mengambil nama Bharat Muni. Bharata Muni (2 abad SM) adalah seorang penulis India kuno terkenal untuk menulis Sastra Natya dari Bharatha, sebuah risalah teoritis seni pertunjukan India, termasuk Teater, tari, akting, dan musik, yang telah dibandingkan dengan Aristoteles puisi. Bharata sering dikenal sebagai bapak seni teater India. Nya Natya Shastra tampaknya menjadi upaya pertama yang mengembangkan teknik atau bukan seni, drama secara sistematis. Shastra Natya memberitahu kita tidak hanya apa yang akan digambarkan dalam sebuah drama, tapi bagaimana penggambaran ini harus dilakukan. Drama, sebagai Bharata Muni mengatakan, adalah meniru laki-laki dan perbuatan mereka (loka-vritti). Sebagai pria dan perbuatan mereka harus dihormati di panggung, sehingga drama dalam bahasa Sansekerta juga dikenal dengan istilah roopaka yang berarti gambaran. Shastra Natya adalah sangat luas dalam jangkauannya. Ini terdiri dari sila teliti rinci untuk kedua dramawan dan aktor. Bharata menjelaskan sepuluh jenis drama mulai dari satu sampai sepuluh tindakan. Selain itu, ia menetapkan prinsip untuk desain panggung, make up, kostum, tari (berbagai gerakan dan gerak tubuh), sebuah teori Estetika (Rasas dan Bhavas), Pejabat, Mengarahkan dan Musik setiap masing-masing bab. Bharata menetapkan teori rinci drama sebanding dengan puisi Aristoteles. Dia mengacu pada bhavas (perasaan), yang imitasi emosi para aktor melakukan, dan Rasas (respons emosional) bahwa mereka menginspirasi penonton. Dia berpendapat bahwa ada delapan Rasas utama: cinta, sayang, marah, jijik, kepahlawanan, kagum, teror dan komedi, dan drama harus campuran yang berbeda Rasas tetapi didominasi oleh satu. Menurut Shastra Natya, semua cara berekspresi yang digunakan oleh individu melalui pidatonya, gerak tubuh, gerakan dan intonasi harus digunakan. Representasi dari ekspresi dapat memiliki modus yang berbeda, sesuai dengan dominasi dan penekanan pada satu mode atau yang lain. Bharatamuni mengakui empat mode utama: pidato dan puisi (Bharati vritti), tari dan musik (kaishiki vritti), tindakan (arabhatti vritti) dan emosi (sattvatti vritti). Teater klasik India Ramayana dan Mahabaratha dapat dianggap sebagai drama pertama yang diakui berasal dari India. Ini epos memberikan inspirasi kepada dramawan India awal dan mereka bahkan hari ini. Dramawan India seperti Bhasa (c.2nd abad SM) menulis drama yang sangat terinspirasi oleh Ramayana dan Mahabharata. Kalidasa (abad ke-1 SM) ini bisa dibilang dapat dianggap terbesar di India kuno Sansekerta penyair dan dramawan. Tiga drama romantis terkenal yang ditulis oleh Kalidasa adalah MALAVIKAGNIMITRAM dan ABHIGNANA Shakuntalam (Pengakuan dari Shakuntala), itu adalah orang pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman.

Jumat, 08 November 2013

...(L)(L)(L)(L).............(L)(L)(L)(L) .(L)(L)(L)(L)(L)(L)......(L)(L)(L)(L)(L)(L) (L)(L)(L)(L)(L)(L)(L)(L)(L)(L)(L)(L)(L)(L) (L)(L)(L)(L)(L)(L)(L)(#)(#)(#)(#)(#)(L)(L) (#)(#)(#)(#)(#) .(L)(L)(L)(L)(L)(L)(#)(*)(*)(*)(*)(*)(#) (#)(*)(*)(*)(*)(*)(#) ....(L)(L)(L)(L)(#)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(#)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(#)(*) ......(L)(L)(L)(L)(#)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(#)(*) ..........(L)(L)(L)(L)(#)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(#)(*)(*) ...............(L)(L)(L)(#)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(#)(*)(*) ....................(L)(L).(#)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(#)(*)(*) .....................(L)..........(#)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(*)(#)(*)(*) ......................................(#)(*)(*)(*)(*)(*)(#)(*)(*) ...........................................(#)(*)(*)(*)(#)(*)(*) ..............................................(#)(*)(#)(*)(*) ..................................................(#)(*)(*)
Ada sesuata yang ku katakan, Ku harap kau dapat mengerti Selama ini ku sayang dan cinta akan diri mu. Tak pernah aku memaksakan, Untuk percaya akan cinta ku Nantinya kau akan mengerti akan cinta ku. Aku merasa senang dekatmu. Tiap waktu kita bersama menjalin cinta Kau marah, sayang Rajuk dan rindu Walau kau pernah terluka dan terkilau akan cinta Namun hatiku tetap cinta akan dirimu…… D. Chaniago Alzu